Rabu, 29 Agustus 2007

Bendera Dibakar Diam Saja

Jakarta, gusdur.netMantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengecam Gubernur NAD Irwandi Yusuf yang berdiam diri dalam menyikapi pembakaran Bendera Merah Putih menjelang peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-62 di wilayahnya,.
“Dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Tanggung jawab dia di mana?” tegas Gus Dur saat menjadi pembicara pada Refleksi 62 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, di Aula DPP PKB, Jl Kalibata Timur I No. 12 Jakarta Selat
an, Kamis (16/08/2007).


Gus Dur menilai diamnya Irwandi, adalah strategi mantan Jubir GAM. “Itulah strategi Irwandi mendorong referendum bagi NAD,” imbuhnya.
Karena itu, Gus Dur meminta Pemerintah SBY bersikap tegas dengan memberhentikan Irwandi dari jabatannya. “Irwandi harus diberhentikan dari gubernur. Pemerintah jangan takut pada Gerakan Aceh Merdeka,” tegasnya.
Selain bagi Irwandi, Gus Dur juga meminta Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk selekasnya menangkap para pelaku pembakaran. “Untuk apa jadi TNI, kalau tidak berani?” katanya.
Selain Gus Dur, hadir sebagai pembicara Rohaniawan Katolik Romo Frans Magnis Suseno, Anggota Dewan Syura DPP PKB Moeslim Abdurrahman, dan Menakertrans Erman Soeparno. Tampak hadir diantara deretan peserta diskusi, Sekjen DPP PKB Yenny Wahid, Ketua DPP PKB Mahfud MD, dan beberapa pengurus daerah.
Frans Magnis Suseno, yang berbicara usai Gus Dur menyatakan, ada beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini. Misalnya, pertama, kemiskinan. Kedua, eksklusifisme, sektarianisme, dan ekstrimisme. Ketiga, hubungan pusat dan daerah. Dan keempat, sistem hukum.
Karenanya, Romo Magnis mengharapkan masyarakat tidak menuntut kesejahteraan secara instan. “Itu tidak bisa, karena Indonesia masih mengalami goncangan,” ujarnya.
Tapi dirinya optimis akan majunya Bangsa Indonesia. “Karena kita punya modal sosial, politik, budaya, dan agama, untuk membawa negara ini hingga berhasil,” katanya.
Moeslim Abdurrahman lebih banyak mengupas persoalan kemiskinan dan pengangguran yang angkanya kian menaik. “Yang jelas-jelas sangat obyektif, sekarang orang lapar lebih banyak,” katanya.
Ia berharap pemerintah serius memikirkan masalah ini. “Nggak bisa lapar secara NU, Muhammadiyah, Katolik, atau yang lain. Lapar ya lapar! Pemerintah harus memikirkan ini,” pintanya.
Anggota baru Dewan Syura DPP PKB itu juga meminta aktualisasi nasionalisme dari pemerintah, dengan cara: pertama, penyediaan lapangan kerja. Kedua, rakyat yang sakit diobati secara gratis. Ketiga, pendidikan dipikirkan serius. “Inilah nasionalisme aktual,” ujarnya.
Sedang Erman Soeparno lebih banyak memaparkan program transmigrasi Kota Mandiri Terpadu (KMT) yang sedang digalakkan kementeriannya. “Silahkan yang mau mendaftar. Pemerintah menyediakan rumah, lahan 2 hektar, biaya hidup 2 tahun, air bersih, dan sebagainya,” promosinya.
“Yang belum nikah akan kita nikahkan massal,” imbuhnya disambut tawa hadirin.[]

Sebuah Dongeng


Oleh: A. Mustofa Bisri
Suatu ketika seorang bernama Abdurrahman datang bersama kawannya. Uqbah Al-harits, menghadap gubenur Mesir, mengaku telah berbuat kesalahan, “Semalam kami terjerumus minum-minumana keras dan mabuk,” katanya, “maka kami mohon agar dihukum sesuai peraturan yang berlaku.”
Maksudnya mereka berdua telah minum-minuman yang mereka kira bukan minuman keras, tapi ternyata memabukkan (Menurut Abdullah Ibn Umar, Abdulrrahman mengatakan kepada gubenur, “Bersihkan kami; kami telah mabuk akibat minuman yang kami minum !”).
Sang gubenur sudah mengenal betul siapa Abdurrahman, justru seperti tak berkenan mendengarkan pengakuan dan permohonannya itu. Kedua orang itu justru serta merta diusirnya.
Abdurrahman yang merasa tersiksa oleh ‘dosa” yang diperbuatnya, mengotot tidak mau pergi sebelum gubenur menjatuhkan hukuman kepadanya. “Jika anda tidak mau menghukum kami katanya, “saya akan laporkan kepada ayah saya nanti kalau saya pulang ke ibu kota”.
Menurut peraturan yang berlaku ketika itu, orang yang minum-minuman keras dijatuhi hukuman: digundul dan dicambuk didepan umum. Sang gubenur benar-benar merasa serba salah. Pasalnya Abdurarrahman adalah putra kepala negara yang mengangkatnya sebagai gubenur. Bagaimana dia bisa menghukum putra kepala negara, apa kata orang nanti ? Namun dilain pihak, gubenur mengenal betul kepala negaranya. Kalau dia tidak dilkasanakan hukuman dan Abdurrahman benar-benar melapor kepada ayahnya, niscaya dia akan kena murka dan dipecat.
Maka akhirnya ditemukan akal, Abdurrahman dan Uqbah dieksekusi di beranda dirumah kediaman gubenur. Dan hal ini, menurut pengakuan gubenur, sama sekali tidak dilaporkan kepada atasannya.
Tetapi entah bagaimana akhir berita itu pun sampai juga ke ibukota, terbukti beberapa waktu kemudian, ‘Amr Ibn Al-Ash, sang gubenur-juga yang menceritakan kisah ini menerima surat dari kepada negara yang berisi antara lain :
“BismiLlahir Rahmanirahiem. Dari Umar amirulmukminin kepada Amr Ibn al-‘Ash…. Aku heran terhadapmu, wahai Ibn Al-‘Ash dan terhadap keberanianmu melawan aturanku. Aku pikir, aku mesti memecatmu dengan tidak hormat. Kamu mencukur dan mencambuk di dalam rumah. Kamu tahu itu menyalahi aturanku. Abdurrrahman tidak lain adalah salah seorang dari rakyatmu yang seharusnya kamu perlakukan sebagai warganegara yang lain. Tapi kamu malah berpendapat Abdurrahman adalah anak Amirul mukminin. Bukankah kamu sudah tahu bagiku tidak ada perlakuan istimewa untuk seorang pun dihadapan hak Allah yang harus dipertanggungjawabkannya. Maka begitu kamu terima surat ini, segera kirim Abdurrahman dalam pakaian ‘aba-ah di atas pelana, agar dia tahu buruknya apa yang sudah diperbuatnya.”
Mematuhi intruksi amirulmukminin, sang gubenur segera mengirim Abdurrahman sebagai diperintahkan. Dan singkat kata, Abdurahman pun kemudian dihukum lagi oleh kepala negara, Umar ibn Khathahab, sang ayah. Padahal ketika itu Abudurrahman masih dalam keadaan lemah akibat hukuman yang pertama.
Cerita ‘Amr Ibn Al-Ash ini mirip dengan apa yang diceritakan oleh Abdurahman Ibn Umar, saudara kandung Abdurrahman yang bertindak mencukurnya di kediaman gubenur Mesir, sebelum saudaranya itu dicambuk.
Diceritakan sekarang, tentu saja kisah itu terdengar bagaikan donggeng 1001 malam. Bagaimana ada orang yang secara tidak segaja meminum yang memabukkan, dengan ngotot minta dihukum sebagai peminum minuman keras? apalagi orang itu adalah putra kepala negara? Bagaimana ada penguasa marah kepada bawahannya karena bawahannya itu dianggap anaknya sendiri ? dan kemudian mengulang hukumannya.
Diceritakan sekarang, memang kisah itu bagaikan dongeng. Apalagi dia disini, di saat ‘benteng pertahanan hukum’ terakhir kita begitu masya Allah. Di saat orientasi hukum dan keadilan tidak lagi kepada nurani dan keberatan, tapi lebih kepada arogansi kekuasaan dan kepentingan sesaat. Di saat kesadaran tanggung jawab –kalaupun masih ada -paling jauh berhenti pada atasan dan tidak pernah sampai kepada Yang Maha Atas, atau sekedar “tanggung jawab” belaka. Di saat hampir semua orang lupa bahawa semua orang, termasuk yang kini merasa gagah perkasa oleh jabatan dan kedudukannya, akan mati dan kelak tanpa kecuali akan menghadapkan kepada Pengadilan yang benar-benar agung.
Ya, di saat seperti sekarang, rasanya cerita tentang ‘kehati-hatian dan keadilan" bagaikan dongeng saja. Dongeng.

Hukum Nurani


Gejala yang sangat khas pada umat Islam sejak dulu hingga sekarang adalah kecenderungan untuk menanyakan hukum agama berkenaan dengan semua hal, hingga ke aspek-aspek yang paling detil. Inilah yang menjadi lahan subur untuk lahirnya ribuan fatwa.
Setiap umat Islam hendak melakukan sesuatu, mereka selalu bertanya kepada seorang ulama bagaimana hukum Islam mengenai sesuatu itu.
Ilmu fikih tumbuh subur karena adanya mentalitas selalu ingin menanyakan hukum segala hal itu. Gejala ini dianggap normal oleh umat Islam, sebab hal itu menunjukkan bahwa umat Islam sadar hukum dan sadar tentang pentingnya menaati hukum (Tuhan) dalam setiap langkah yang mereka ambil.
Memang tidak seluruhnya gejala semacam ini jelek, tetapi jika berlangsung dengan eksesif, ia jelas akan beradampak buruk pada perkembangan corak keberagamaan dalam umat Islam.
Jika anda membaca rubrik fatwa yang sekarang menjamur di mana-mana, anda akan menemukan pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh, kadang menggelikan. Dalam suatu rubrik fatwa, saya pernah membaca seseorang menanyakan kepada seorang ulama yang mengasug rubrik tanya-jawab agama tentang bagaimana hukum mengkonsumsi minyak ular: apakah diperbolehkan menurut Islam atau tidak.
Waktu saya kecil dulu, pernik-pernik perkara ibadah memang didiskusikan hingga sudut-sudut yang paling pojok sekalipun. Misalnya, bagaimana hukumnya jika seseorang yang berpuasa mandi lalu air masuk secara tak sengaja ke lubang telinga: batalkah puasanya? Jika seseorang salat memakai sajadah, lalu ujung sajadah itu menyentuh suatu kotoran (najis, misalanya tahi ayam), apakah salat orang itu batal atau tidak?
Gejala inilah yang dulu diejek kaum reformis Islam sebagai "fiqh-oriented". Saya ingin menyebutnya sebagai "fikihisme". Gejala ini dulu umum berlaku hanya di kalangan Muslim tradisional di pedesaan. Anehnya, gejala ini sekarang muncul kembali di tengah-tengah masyarakat Muslim kota, dan justru di kalangan terdidik.
Gejala ini, menurut saya, menandakan adanya "ketidakdewasaan moral" dalam umat Islam. Menanyakan hukum Islam mengenai segala sesuatu menandakan bahwa umat Islam tidak berani berpikir sendiri. Mereka memandang bahwa hukum adalah sesuatu yang tertera dalam teks Kitab Suci, sementara hasil penalaran manusia bukan dianggap sebagai suatu hukum yang mengikat.
Karena orang-orang yang dianggap sebagai ahli tentang teks agama adalah para ulama, maka mereka selalu berpaling kepada ulama untuk menanyakan segala hal. Menggantungkan segala keputusan kepada ulama, umat Islam tidak berani melakukan penalaran rasional sendiri atas segala hal yang mereka hadapi.
Saya tidak "anti ulama". Ulama, buat saya, adalah semacam eksemplar moral yang menjadi inspirasi bagi umat, bukan menjadi semacam "mesin kalkulator" untuk menjawab semua pertanyaan umat. Pada akhirnya umat harus didorong untuk berpikir sendiri secara dewasa.
Untuk itulah saya mengajukan suatu bentuk hukum lain, yakni hukum nurani. Inspirasi gagasan ini saya peroleh dari hadis Nabi yang terkenal, "Istafti qalbaka", mintalah fatwa pada nuranimu sendiri.
Artinya, sangat penting bagi umat Islam untuk mengembangkan kesadaran moral yang tinggi, mendalam, dan penuh tanggungjawab. Hal itu tak bisa lain kecuali jika umat Islam terus mengasah agar nuraninya berkembang dengan sehat. Nurani yang sehatlah yang akan menjadi pemandu bagi seorang beriman.
Dalam menghadapi segala sesuatu, ia tak perlu bertanya kepada seorang ustad; ia hanya perlu bertanya kepada nuraninya sendiri. Ia boleh bertanya kepada seorang ustad, tetapi pada akhirnya keputusan final tetap ada di tangan nurani yang bersangkutan.
Dengan demikian, umat Islam akan pelan-pelan menjadi subyek yang secara moral dewasa. Dan itulah tujuan akhir agama yang sangat penting: kedewasaan moral. Dengan nurani yang matang dan sikap moral yang dewasa, seorang beriman akan menjalankan agama bukan karena aturan-aturan formal yang dipakasakan dari luar, tetapi karena dorongan yang kuat dari dalam "diri" sendiri. (http://www.islamlib.com/)

Sang Primadona

Cerpen A. Mustofa Bisri
Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.
Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.
Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.
Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.
Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.
Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.
Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."
Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.
Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.
"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"
"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."
"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."
Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.
Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.
Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.
Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.
Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.
Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.
Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.
Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.
Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.
Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.
Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.
Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.
Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.
Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"
"Apa itu?" tanyaku tak mengerti."Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!""Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.
Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.
Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.
Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!***

ANJING DAN KELEDAI

Seorang yang baru saja menemukan cara memahami artisuara-suara yang dikeluarkan binatang, pada suatu berjalansepanjang lorong di desa. Dilihatnya seekor keledai, yang baru saja meringkik dan disampingnya ada seekor anjing, menyalak-nyalak sekeras-keras-nya. Ketika orang itu semakin dekat, arti pertukaran suarabinatang itu bisa ditangkapnya. "Uh, bosan! Kau ngomong saja tentang rumput dan padangrumput yang kering bisa dipergunakan sebagai penggantidaging," katanya menyela. Kedua binatang itu memandangnya sejenak. Anjing menyalakkeras-keras sehingga suara orang itu tak terdengar samasekali; dan keledai menyepak dengan kaki belakangnya tepatmengenai orang itu sampai kelenger. Kemudian kedua binatang kembali adu mulut. Catatan Kisah ini, yang menyerupai kisah Rumi, adalah fabel dalamkumpulan kisah Majnun Qalandar, yang mengembara selama empatpuluh tahun pada abad ketiga belas, membacakan kisah nasehatdi pasar-pasar. Beberapa orang mengatakan bahwa iabenar-benar gila (seperti yang ditunjukkan oleh namanya);orang-orang lain beranggapan bahwa ia merupakan salahseorang di antara "Orang-orang yang berubah"-- yang telahmengembangkan pengertian adanya hubungan antara benda-benda,yang oleh orang-orang biasa dianggap terpisah.

tentang aq

Profil dariku!!!!
aku anak pertama dari kedua orang tuaku.sejak kecil aku selalu dimanja,ditimang,di ninabobokan,dan satu hal yang tidak boleh dilupakan biasanya sebelum tidur aku dibacakan dongeng oleh ayah atau ibuku.
4 tahun kemudian adikku lahir,setelah adikku lahir